Agama adalah Warisan!

jesus-of-maryknoll

Seorang anak dilahirkan dalam keadan polos, seputih kertas. Masyarakat kemudian menoreh tinta kepadanya, nilai tentang yang baik dan yang buruk, secara sengaja maupun tidak. Proses penulisan nilai-nilai tersebut memakan waktu, sepanjang hidupnya. Lahirnya individu hingga meninggal, individu dan masyarakat selalu berinteraksi. Dalam ilmu sosial, penanaman nilai-nilai itu disebut sebagai sosialisasi.

Banyak nilai-nilai yang dituliskan oleh masyarakat, kesenian, moral dan etika, politik, sosial budaya, ekonomi dan agama. Khusus tentang nilai yang terakhir, akan kita bahas dalam tulisan ini.

Kenapa harus melakukan sosialisasi?

Dalam proses sosialisasi, individu diajarkan peran-peran dan nilai-nilai, agar kedepannya sesuai dengan norma dan nilai dilingkungan. Hal ini menimbulkan pertanyaan kedua, kenapa harus disesuaikan? Apa yang terjadi jika nilai yang dimiliki seorang individu tidak sesuai dengan nilai yang dimiliki oleh masyarakat? Apakah akan terjadi konflik? Apakah ketidaksesuaian tersebut menyebabkan individu di isolasi?

Salah satu nilai yang di tanam dan di transfer adalah agama. Didalamnya terdapat seperangkat norma dan etika, mengenai konsep ketuhanan dan spiritualitas. Terdapat kebiasaan (behaviour) yang diwariskan oleh generasi yang tua kepada generasi yang muda. Kebiasaan tersebut misalnya adalah bahwa pada hari minggu, para pemeluk agama Kristen pergi ke gereja untuk bersembahyang.

Terdapat cibiran dari masyarakat tentang mereka yang sering tidak berangkat ke gereja. Mereka dilabelkan “bidah” misalnya. Mereka yang tidak berangkat ke gereja misalnya juga akan mendapat bentuk hukuman, baik dimarahi oleh orang tua, atau tidak ditegur oleh teman-teman yang terlalu religius.

Apa yang salah dengan sosialisasi Agama?

Orang tua mengajak anak mereka sembahyang pada hari minggu. Ini merupakan bentuk penanaman nilai kepada anak-anak tersebut. Mereka kemudian mengenal konsep trinitas dan sunat. Pada akhirnya, mereka kemudian terjepit oleh seperangkat aturan-aturan yang diajarkan. Orang tua mewarisi agama yang mereka anut kepada anak mereka.

Yang salah dalam sosialisasi tersebut adalah bahwa secara tidak langsung, telah terjadi semacam proses pemaksaan kehendak secara halus. Sudah lama kita mengetahui, bahwa secara tidak langsung, anak sudah seharusnya mengikuti agama yang orang tua mereka anut. Ini merupakan kesalahan besar! Saya menolak dengan tegas konsep seperti itu.

Seharusnya anak dibimbing untuk mengenal konsep Tuhan dan spiritualitasnya. Dan pada akhirnya, anak memiliki hak untuk memilih apa yang percayai, termasukpun tidak mempercayai Tuhan! Jikapun anak diajarkan untuk menghayati Kristus dan Tuhannya, hendaknya bukan seperti yang dibahas para Teolog dan diajarkan oleh para Pendeta. Kemurnian dan kerelaanlah yang diutamakan, bagaimana anak tersebut sekiranya tidak hanya sekedar menjadi domba yang patuh pada gembalanya.

Kesalahan terhadap pemaksaan secara halus ini kemudian berujung kepada larangan untuk menikahi seseorang yang berbeda agama, pasangan yang dicintainya, dan seharusnya menjadi pasangan hidupnya. Sungguhlah sebuah dosa besar memisahkan dua anak manusia yang tercipta dalam satu tulang rusuk!

Saya menjunjung tinggi kebebasan individu dalam menentukan pilihan yang dirasanya baik demi kepentingan hidupnya. Kebebasan berpikir dan berbicara dengan bertanggung jawab, terlepas dari tekanan siapapun! Dan pilihan semacam itu, terhadap agama dan setiap kepercayaan dimuka bumi mutlak merupakan pilihan pribadi.

Sama seperti warisan, anda berhak untuk menerima ataupun menolaknya.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.